Psikologi Indonesia

Written By Budi Santosa on Jumat, Februari 12, 2016 | 21.41


Mengenal Kodokushi ( Kematian karena Kesepian)-Bagian 1

Seorang pasien yang dirawat di bagian Penyakit Dalam ditemukan meninggal di ruang perawatan . Tak ada satupun yang curiga akan kematian sang pasien , karena selain sudah tua dan mengidap penyakit kronis tidak pula ditemukan tanda-tanda kekerasan ditubuh korban .

Kematian pasien tersebut rupanya mengusik perhatian seorang dokter yang merawatnya . Keterangan yang didapat dari bagian gizi menunjukkan bahwa sudah seminggu sang pasien tak menyentuh makanannya. Keterangan lainnya dikemukakan oleh perawat yang menemukan bungkusan plastik berisi obat-obatan yang seharusnya dikonsumsi pasien tersebut dibawah kasurnya . Hal ini menunjukkan bahwa pasien tak lagi ingin diobati.

Sang pasien memang dirawat di Rumah Sakit seorang diri tanpa ada yang menemani . Seringkali perawat melihat sang pasien tidur dengan menutupkan selimut keseluruh tubuhnya, seakan iri melihat pasien lain dikunjungi sanak saudara. Di lain waktu, perawat pernah memergokinya sedang menangis sendiri, namun tiada kata yang terucap untuk menjelaskan mengapa ia menangis . Sang dokter kemudian menduga, bahwa serangan jantung yang merenggut nyawa pasien tersebut adalah serangan yang dipicu oleh kesedihan, kesepian yang sangat mendalam.


Kodokushi
Di Iepang, apa yang dialami oleh si pasien tadi lazim disebut sebagai ko­dokushi (kematian akibat kesepian / perasaan hampa), dan jurnlahnya terus meningkat setiap tahun.Di tahun 2011, terdapat sekitar 2000 orang tua di Tokyo Jepang meninggal dalam kesepian. Angka ini dirilis oleh   Japan's National Broadcast­ing. Sedihnya , tubuh tak bernyawa sang korban biasanya ditemukan setelah beberapa hari, bahkan bulan setelah kematiannya.

Semua kejadian tersebut selalu memiliki pola yang sama. Korban Kodokushi biasanya adalah  orangtua atau pasangan orangtua yang menyendiri dan terisolasi dari lingkungan sekitar. Tidak ada yang khas bila kajian ditujukan pada latar belakang ekonomi . Hal ini karena korban datang dari latar belakang keluarga dengan ting­kat ekonomi beragam, mulai dari yang kekurangan hingga tingkat ekonomi atas.

Jepang sampai saat ini masih dianggap sebagai negara makmur . Harapan hidup di Jepang yang tinggi memungkinkan seseorang hidup sampai usia lanjut . Bank Dunia di tahun 2012 merilis laporan tingkatan harapan hidup di Jepang adalah 83.10 tahun . Bandingkan dengan Amerika yang "hanya" 78.74 tahun serta Tiongkok yang 75.20 tahun.

Sungguh ironis menyadari bahwa tingginya angka kodokushi di Jepang merupakan antiklimaks dari pan­jangnya usia hidup rata-rata orangtua di negara tersebut. Gaya hidup dengan tekanan tinggi seringkali menyebabkan seseorang tidak lagi memperdulikan orang lain . Sebuah kisah ironi terjadi di tahun 2010 dimana warga Jepang pemah dihebohkan dengan dite­mukannya jasad Sogen Kato, pria ber­usia 111 yang disebut-sebut sebagai salah satu pria tertua di Tokyo. Yang menyedihkan, jasad Sogen ditemukan sudah menjadi mumi, berbaring di tern­pat tidur di kediamannya dan diperkira­kan sudah meninggal sejak 30 tahun lalu. Di tahun yang sama, pemerintah Jepang baru menyadari tidak bisa men­deteksi keberadaan sekitar seperempat juta warganya yang berusia di atas 100:

Rupanya, Kodokushi tak hanya mengincar orang lanjut sebagai korbannya, melainkan juga remaja dan anak-anak Di Jepang banyak ditemukannya anak-anak dan remaja yang juga me­ninggal karena kodokushi. Dari profil para korban, diketahui bahwa mereka biasanya berasal dari keluarga yang tidak banyak bersosialisasi dengan ling­kungan masyarakat di sekitarnya.

Lantas, apa penyebab dari Kodokushi ini? seorang psikiater mengatakan bahwa  perasaan hampa atau kesepian yang banyak dialami oleh para orangtua merupakan gejala dari Empty-Nest Syndrome (sindrom sarang kosong). Sindrom ini biasanya menye­rang para lansia ketika anak-anak mereka mulai meninggalkan rumah atau tidak lagi tinggal dalam satu ru­mah. dimana sindrom tersebut akan menjadi pemicu depresi apalagi bila didukung oleh beberapa faktor lain. Misal. lansia yang memiliki kepriba­dian tertutup atau faktor lingkungan sosial yang kurang mendukung se­hingga membuat para lansia merasa terisolasi. Faktor depresi ini yang ke­mudian memicu kematian.



G+

Anda baru saja membaca artikel tentang Mengenal Kodokushi ( Kematian karena Kesepian)-Bagian 1. Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan masukan email anda dibawah ini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel terbaru dari Psikologi Indonesia
feedburner

0 komentar:

Psikologi Indonesia © 2014. All Rights Reserved.
Template SimpleCips By psikologiindonesia.blogspot.com , Powered By Blogger